Cerita hidup dari sisi seorang gadis yang percaya bahwa tuhan itu adil.

Wednesday, 26 December 2012

You Give Me Something

Kikan mengambil handphonenya yang tergeletak di sebelahnya sambil tetap memegang pulpen.
"Dari tadi liat hape mulu, Non." Sheila, temannya dari kecil menegur, "Nunggu apa sih?" lanjutnya. Kikan mengangkat wajahnya,
"Eh, ini. Sms dari Raihan."
"Raihan? Cowo lo itu?" tanya Sheila sambil membenarkan posisi duduknya di kasur Kikan. Mereka sedang mengerjakan tugas bersama di rumah Kikan. Dengan Kikan yang tidak berhenti melihat handphone-nya.
"Iya." Jawab Kikan singkat sambil meletakkan kembali handphone-nya dan kembali dengan kertas-kertas dihadapannya.
"So, how's the progress?" Tanya Sheila sambil mengambil Jus Jeruk di atas meja.
"What progress?" tanya Kikan balik sambil membaca kertas miliknya,
"Elu, sama cowo lu."
Kikan menaikkan sebelah alisnya sambil meletakkan kertas, "Sorry?"
"Oh, come on. Gue tau lo bukan cewe yang gampang sayang sama cowo walaupun udah jadian." Sheila memandang teman kecilnya, "Yah, walau lo jarang cerita sama gue tentang cowo lo yang sekarang, gue bisa tebak. Pertama lo terima dia bukan karna lo suka kan? Tapi karna nyaman." Sheila tersenyum jahil. Kikan hanya tertawa kecil, "You know me so well, Mate."
"Jadi?"
"Well....." Kikan menghela nafas, "yah... gitu." katanya ragu.
"Gitu gimana?" tanya Sheila tak sabar. Kikan hanya mengangkat bahunya, "ya gitu." katanya.
Sheila memutar bola matanya kesal, "Okay, okay. I'll guess then."
Kikan mengangkat alisnya sebelah, menantang.
"Lo udah sayang ya?" tebak Sheila cepat. Kikan melirik Sheila beberapa saat sebelum tertawa dan mengambil handphone-nya lagi.
"Menurut lo gitu?" Kikan bertanya balik,
"Yah, kalo liat sikap lo kaya gini sih.... kayanya iya." Jawab Sheila. Kikan mengerenyitkan dahinya tanpa sadar,
"kaya gini?" Tanya Kikan, mengulang sebagian kalimat Sheila. Sheila mengangguk cepat,
"Iya, 'gini'. Ngecek handphone tiap menit, mulai ketawa-ketawa sendiri kalo gue liat, marah-marah gajelas. Setau gue lo kalo marah-marah ga jelas, kalo ga karena lagi bete, karena belum makan coklat, atau karena kangen sama orang." Jelas Sheila cepat, "Jadi iya, ya?" lanjutnya.
Kikan mengangkat bahunya sekali lagi.
"Lo belum yakin sama dia?"
Kikan menggeleng pelan, "Bukan ga yakin. Gue yakin sama dia. Cuma, gue takut aja keulang-ulang kaya dulu."
Sheila diam, berfikir.
"Dulu? Dulu waktu lo masih dibego-begoin sama cowo?" katanya sambill tertawa. Kikan hanya tersenyum.
"Itu tandanya lo belum yakin sepenuhnya sama dia." lanjut Sheila,
"Bukan gi--"
"Kalo bukan gitu apa dong? Lo takut? Takut dia nyakitin? Takut dia ninggalin? Takut dia suka sama cewe lain? Takut dia apa lagi?"
"Takut kalo dia malah menjauh saat gue udah sayang sama dia..." Kikan melanjutkan kalimat Sheila, "Takut dia berubah jadi cuek saat gue udah mulai care. Takut dia--"
"Wih, sejak kapan Kikan yang dulunya tukang manjatin pohon jadi penakut gini?" Sheila memotong sahabatnya sambil tertawa, "Lo sekarang banyak takutnya. Mana nih Kikan yang katanya selalu berusaha buat positive thinking sama orang?"
Kikan hanya menghela nafas, "Gue.... cuma gamau menitipkan hati ke orang yang salah lagi, Sheil."
"Tau darimana lo kalo dia orang yang salah?"
Kikan diam.
"Ka, saat lo nitipin hati lo ke orang lain, akan ada dua resiko nantinya, yang pertama, mungkin lo bakalan dapetin yang terbaik atau yang kedua, lo akan dapet 'pelajaran' baru."
Kikan masih tetap diam.
"Lagian, kalo gue ga salah, lo pernah bilang sama gue kalo Nada sahabat lo dari SMA itu bilang kalo dia setuju sama cowo lo yang sekarang."
Kikan tertawa, "Dia sih emang setuju terus sama cowo gue."
"So tau." Sheila memotong, "Waktu sama yang sebelum-sebelumnya, denger dari cerita lo emang dia gapernah ada yang setuju. Kecuali sama yang dua tahun itu, awalnya doang. Kesini-sininya sih dia dukung lo putus juga, kan?" katanya sambil tertawa. Kikan tertawa kecil, "Iya juga sih."
"Jadi?" Sheila bertanya lagi,
"Apaan?"
"Titipin ga nih?" Sheila menyiku lengan Kikan jahil.
"Kalo ternyata dia ga sayang sama gue gimana, Sheil?"
Sheila merangkul sahabatnya, "Kalo dia ga sayang sama lo, ngapain dia bbm lo sekarang?" Sheila tersenyum jahil sambil menunjuk Blackberry milik Kikan yang berkedip-kedip. Kikan memandangnya sebentar sebelum kembali melihat Sheila.
"Jadi sekarang kita bisa ngukur rasa sayang seseorang cuma dari bbm?" Tanyanya sambil tertawa.
"Engga juga sih." Sheila tertawa, "tapi apa salahnya ngasih kesempatan ke orang sih, Ka? You'll never know if you never try." katanya, "Gue yakin dia sayang sama lo. Lebih besar dari apa yang lo bayangkan."
Kikan hanya tertawa. "Sejak kapan lo jadi bijak gini?" katanya sambil melepaskan rangkulan Sheila dan memukul mukanya dengan bantal.
"Sejak gue punya pacar!"
Kikan berhenti memukul Sheila, "Anjrit! Lo punya cowo?!"
"Hehehe...."Sheila menyeringai jahil.
"'Cause, you give me something
That makes me scared, alright
This could be nothing 
But I'm willing to give it a try

Please give me something
Because someday I might know my heart"
- James Morrison, You Give Me Something

Wednesday, 03 August 2011

Dari Sisi Aku.

Mia.
Dia mengatur nafasnya. Terlihat pundaknya naik turun beraturan.
"Aku mohon, Mia" Katanya, "berhentilah bertingkah bahwa aku adalah tersangka utama dalam hubungan kita." 
Aku terdiam. 
"Aku ga pernah bilang kalo kamu tersangka utama dari semua ini." Kataku membela diri.
"Kamu emang ga pernah bilang. Tapi semua tingkah laku kamu selalu memojokkan aku. It points to me." jelasnya. Aku menarik nafas panjang, "maaf.." kataku pelan, dia memandangku. Aku tak berani menatap matanya.
"Aku sayang kamu, Mia. Aku tau, kamu tau itu. Harus berapa kali aku bilang sama kamu? Gausah takut aku pergi. Aku ga akan pergi, dan aku ga akan pernah mau pergi." Katanya. Aku menarik nafas panjang, berusaha mati-matian menahan 'sesuatu' yang tak lama lagi akan meluncur keluar.
"Yo, boleh aku minta sesuatu?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Apa"
"Berhenti bikin aku terlalu berharap sama kamu. Satu-satunya hal yang bisa bikin aku terbang sekaligus jatuh terpuruk, cuma kata-kata kamu.."
"Maksud kamu?" Dia meminta penjelasan lebih,
"Iya. Kalimat, 'aku ga akan pergi' dari kamu emang bisa bikin aku tenang. Tapi di sisi lain, itu malah jadi boomerang buat aku. Kalimat itu bikin aku lupa kalo setiap hubungan itu ga selalu berjalan mulus. Kalimat itu bikin aku sensitive dengan semua perubahan kecil dari kamu.." Aku menundukkan wajahku, berusaha menutupi air mata yang akan segera keluar.
"Aku... Aku takut takdir punya jalan lain buat hubungan kita." Aku mulai menangis. Dia terdiam membiarkanku menangis.
"Aku terlalu sayang kamu..." kataku lirih


Aryo
Aku memandanginya dalam.
"Maafin aku, Mi. Aku ga maksud kaya gitu. Aku cuma pengen kamu tau kalo aku ga akan pergi kemana-mana." aku berusaha menjelaskan. Mia masih terisak didepanku.
"Aku tau. Tapi gimana kalo nanti kenyataannya beda?" tanyanya sambil tetap menunduk,
"Aku bakal berusaha kalo semuanya bakal tetep sama." kataku lantang. Mia terdiam.
"Kamu harus percaya sama aku, Mia. Semua usaha aku bakalan sia-sia kalau kamu ga percaya sama aku." aku berusaha mengangkat wajahnya.
"Dan buat semua perubahan dalam diri aku. Aku tau kamu udah dewasa, jadi aku yakin kalo kamu ngerti, kita itu masih pacaran, belum ada ikatan resmi apapun. Kita masih punya kehidupan yang harus dijalanin masing-masing. Aku punya masalah, gitu juga kamu. Aku gak mau ngekang kamu. Tapi harus kamu inget..." aku menarik tangannya,
"kita punya ikatan satu sama lain, disini..." kataku sambil mendekapkan tangannya kedadaku.
"Aku sayang kamu, Mia. Banget, banget, banget!" aku memeluknya erat.

Sunday, 26 June 2011

Memori Milik Gadis.

Gadis membongkar kotak rahasia dengan gaun yang menghiasi tubuhnya yang indah. Ia mengambil kumpulan kertas yang berisi percakapannya dengan Mori, kemudian membacanya. Sesekali ia tertawa, dan sesekali mengerutkan dahinya, atau hanya menghembuskan nafas berat. Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu kamarnya. Gadis bangkit untuk membukakan pintu.
"Hai Cantik.." kata seseorang dibalik pintu kamarnya
"Hai, Mori." balas Gadis sambil tersenyum,
"Lagi apa? Pergi sekarang?" tanya Mori sambil merangkul Gadis, 
"Ngga lagi apa-apa. Ya, pergi sekarang aja." Katanya sambil menutup pintu, Mori hanya menghembuskan nafas berat. Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu kamarnya. Gadis bangkit untuk membukakan pintu.
"Hai, Cantik.." kata seseorang dibalik pintu kamarnya
"Hai, Mori." balas Gadis sambil tersenyum,
"Lagi apa? Pergi sekarang?" tanya Mori sambil merangkul Gadis, 
"Ngga lagi apa-apa. Ya, pergi sekarang aja." Katanya sambil menutup pintu, Mori hanya mengangguk dan kemudian mengikuti Gadis yang turun ke lantai bawah.

"Om.. Tante.. Gadisnya saya pinjem dulu yah.." Mori pamitan kepada orang tua Gadis.
"Iya.. Tapi jangan kemaleman ya, nak Mori." jawab Ibunda Gadis sambil tersenyum,
"Siap, Tante!" kata Mori sambil memberi hormat
"Jagain Gadis Oom ya Mori. Oom percaya kamu." Ayah Gadis ikut mengingatkan Mori. 
"Oke, Oom." Mori tersenyum.
Setelah berpamitan, mereka berdua langsung pergi menuju tempat yang sudah di rencanakan.

******************************
"Makasih ya, Ri. Dinnernya unfogettable banget." Kata Gadis sambil tersenyum,
"You're welcome, My Lady." balas Mori sambil mencium kening Gadis, "mau kemana kita sekarang?" tanya Mori. Gadis mengangkat bahunya,
"Terserah kamu," Gadis menatap Mori teduh, Mori tersenyum.
"Oke. Kita ke Kongo aja." kata Mori sambil mulai mengendarai mobilnya,
"Tapi kita kan udah makan." 
"Gapapa, kita mesen minum aja. Aku cuma mau nyari tempat yang enak buat ngobrol aja." Jelas Mori sambil terus mengendarai. Gadis hanya tersenyum.

"Oke, silahkan turun." Kata Mori sambil membukakan pintu mobilnya untuk Gadis, Gadis tersenyum dan keluar dari mobil Mori. Mori memberikan kuncinya kepada penjaga untuk memarkirkan mobilnya. Mereka pun masuk ke Restoran dan langsung berbincang-bincang setelah memesan minuman.

"Mm.. Apa kabar, Mor?" Gadis memecah kesunyian, Mori memandang Gadis,
"Apa sih kamu?" balasnya sambil tersenyum, Gadis hanya tertawa. Tiba-tiba handphone milik Mori berbunyi,
"EH, Sorry, Dis. Bentar." Mori mengambil handphonenya, dan kemudian terpaku dengan handphonenya.
"Siapa?" tanya Gadis setelah Mori selesai dengan handphonenya,
"Diky. Setengah jam lagi aku harus latihan." jawab Mori. Gadis menghembuskan nafasnya, kesal.
"Kenapa?" tanya Mori. 
"Aku cape, Mor. Kamu terlalu sibuk. Jadi cuek. Susah banget buat punya waktu sama aku." jawab Gadis sambil memainkan jarinya, Mori meraih jari Gadis.
"Dis, kita udah sering debatin ini." Mori menatap Gadis, dalam.
"Tapi kali ini aku bener-bener cape, Mor. I miss how you always made your time for me. Sekarang kamu kalau aku sms atau chat, jadi dingin banget balesnya. Aku gasuka." tutur Gadis. Mori masih menatapnya,
"Oke. Aku sadar dulu aku gitu. Tapi, sekarang aku udah coba buat berubah. Tapi kenapa malah kamu yang jadi gini?" Gadis mulai berkaca-kaca. Mori menggenggam tangan Gadis,
"Dis.." katanya, "Aku udah sering bilang sama kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku juga ga pengen buat jadi cuek sama kamu. Tapi keadaan yang bikin aku kaya gini." jelas Mori, Gadis menunduk.
"Lagi pula aku ngga sempurna. Aku manusia biasa. Aku juga punya ego, mungkin dulu aku ga cuek. Tapi aku gabisa selama-lamanya ga cuek." Mori memepererat genggamannya.
"Maafin aku kalau aku cuek. Tapi harus satu yang kamu tau. Aku sayang banget sama kamu. Dan kamu tenang aja. Aku gaakan selingkuh. Aku udah ada yang milikkin. Iya kan?" Mori tersenyum. Gadis mengangkat wajahnya dan ikut tersenyum, langsung Gadis memeluk Mori.
"Aku sayang kamu." bisik Gadis.

Thursday, 16 June 2011

Hari untuk Adisya.

Hari terus terpaku dengan layar laptopnya, dengan sesekali meminum segelas kopi yang menemaninya sedari tadi, tiba-tiba handphone miliknya berdering nyaring dan membuatnya mengalihkan pandangan dari layar laptopnya untuk sejenak mengangkat telefon.
"Halo." kata Hari
"Har.. Lagi apa? Dimana?" tanya gadis disebrang telfon penuh semangat
"Oh.. Disya. Lagi ngerjain tugas, dirumah" jawab Hari
"Masih ngerjain tugas?" Adisya terdengar sedikit kecewa,
"Iya nih.. Ngga beres-beres." Hari menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal,
"Ooohh.. Udah makan?" tanya Disya
"Belum..."
"Makan dong, oh iya.. Sebenernya ada yang mau aku omongin." Disya terdengar berseri-seri, "Lusa kita..." Disya belum sempat melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba Hari memotong, 
"Eh, Dis.. Udah dulu yah, aku mau lanjutin tugas, daaaah.." dan.... 
"tuuuuuuuutt.. tuuuutt.." sambungan terputus. Adisya terpaku dengan handphonenya sendiri,
"Lusa kita setahunan, Har..." Disya berbicara kepada dirinya sendiri.


******************
"Hai sayang.." kata Hari sambil mencium kening Adisya, "maaf aku telat.." Hari mengambil kursi dan duduk di sebelah Adisya.
"Haha.. Ngga apa-apa ko, biasa kan kamu telat?" Kata Adisya sambil menatap Hari sinis. Hari memandang Adisya bingung, 
"kenapa?" tanyanya. Adisya memutar bola matanya, 
"Ergh.. Kebiasaan deh ngga nyadar sama kesalahan! Aku disini nunggu hampir satu jam!" Maki Adisya kesal, 
"maaaaafff... Aku sibuk ngerjain tugas sayaaaang." rayu Hari. Adisya hanya menarik nafas panjang, sabar, Disyaaaa.. Sabaaarrrrrr.. batinnya dalam hati. 
"Oh iya, kemaren malem kamu mau ngomong apa?" tanya Hari berusaha mengganti topik. Adisya pun berhasil terayu, wajahnya langsung berseri-seri, 
"coba tebak.." katanya, Hari menyimak, "besok hari apa?" Disya tersenyum, Hari berfikir, 
"Umm.... Rabu?" jawabnya. Wajah Adisya seketika langsung masam,
 "eh.. Kenapa? Ada yang salah?" Hari bertanya lagi. 
"Iya. Sangat salah." Jawab Adisya kesal, "besok itu kita satu tahunan Hariiii... First Anniversary! Masa kamu lupa?!" Adisya membatingkan badannya ke kursi. Hari terdiam.. 
"Hah? Bukannya besok itu tanggal 20 ya? Anniversarry kita kan tanggal 25." Kata Hari sambil tetap berusaha berfikir. Adisya terlonjak kaget, Ya ampun.. Dia ngga inget? GREAT! Adisya membenarkan posisi duduknya dengan kesal, 
"Kita itu Anniversarry tanggal 20! Bukan tanggal 25! Tanggal 25 itu deadline buat semua tugas-tugas kamu!!" Teriak Adisya tanpa mempedulikan orang-orang yang ada di cafe yang sedang memperhatikan mereka, kemudian bangkit dari tempat duduknya dan lari keluar, Hari mengejarnya.
"Disya.." kata Hari sambil lari tepogoh-pogoh, 
"Dis.." Hari menangkap lengan Adisya, "Maaf.." katanya tulus, Adisya menarik nafas, berusaha mati-matian menahan air matanya, 
"Har.. Selama ini aku ngga masalah kalo emang kamu lebih inget tugas-tugas kamu daripada aku. Aku ngga masalah kamu lupain buat tugas-tugas kamu yang emang banyak.." Katanya dengan susah payah, 
"Tapi bukan berarti kamu bisa lupain tanggal jadian kita.." Kata Adisya lirih, Hari memandangnya dengan perasaan bersalah, 
"Maaf.." Hari meminta maaf lagi. 
"Ya.." Adisya menjawab dan langsung pergi meninggalkan Hari.

*******************
"Oke. Sebentar lagi jam 00:00" Kata Disya sambil melihat jam tangan digital miliknya, "Merayakan satu tahunan sendiri karena sang pacar lupa dan sibuk dengan tugasnya.." sambungnya sambil tertawa masam, 
"Ha ha.. Satu tahunan yang tak akan terlupakan.." katanya sambil merebahkan tubuhnya. Adisya terdiam sambil terus memperhatikan jam tangannya.
"Oke sodara-sodara.. Sepuluh menit lagi." katanya sambil bangkit dan menghampiri cake yang sudah ia siapkan di atas meja belajarnya, ia sedang bersiap-siap untuk menyalakan lilin sampai tiba-tiba handphonenya berdering, "Hari..." katanya bingung saat tau siapa yg menelefonnya,
"Halo.." Adisya mengangkat telfonnya.
"Jadi kamu ngga akan nyamperin aku dibawah nih?" Tanya hari langsung,
"Hah? Apaan?" Adisya tidak mengerti,
"Aku dibawah nih, kamu tega biarin aku kedingingan tengah malem gini?" ulang Hari. Adisya yang masih bingung segera menutup sambungan dan lari ke ruang bawah, 
"Mau kemana?" tanya Ayahnya yang sedang menonton tv, 
"Eh.. Hari?" jawab Adisya bingung, 
"Oh jadi daritadi Hari belum disuruh masuk?" tanya ayahnya lagi, 
"Daritadi?" Adisya mengulang kata-kata ayahnya, 
"Iya, Hari kan di depan udah dari sejam yang lalu." jawab ayahnya. Adisya langsung berlari keluar rumah dan mendapati hari yang sedang tersenyum kedinginan. 
"Halo sayang.." katanya, Adisya mengkerutkan dahinya, 
"ngapain disini?" Tanya Adisya, Hari tertawa,
"ngulang tahun lalu.." jawabnya singkat, Adisya mengkerutkan dahinya -lagi-, 
"Oke.." Hari langsung meraih tangan Adiysa, "Well.. Karena tahun lalu aku sibuk juga sama tugas-tugas aku, dan dengan cupunya maksain nembak kamu lewat SMS. Sekarang.." Hari mencoba meraih sesuatu didalam saku jaketnya, 
"Adisya Regina.. Would  you like to be my everlasting girlfriend?" katanya sambil mengeluarkan kalung berangkaikan nama Adisya dari sakunya. 
Adisya tertawa.
"yes, I do." katanya sambil langsung memeluk Hari.
"Maaf ya. Aku janji, lima hari setelah hari ini, ngga akan aku sibuk sama tugas-tugas aku. Mulai lima hari kedepan, Hari cuma untuk Adisya." katanya sambil mengelus rambut Adisya,
"iyalah.. Orang hari itu semua tugas kamu harus dikumpulin" katanya sambil tertawa dipelukan Hari.

Sunday, 12 June 2011

Memory.

                 Aku kembali membuka memori dulu. Saat ia mengajariku banyak hal. Aku ingat lagi tawanya yang khas, aku ingat lagi suaranya, aku ingat lagi semua tentangnya.

                 Seperti baru kemarin semuanya terjadi. Ibuku menangis keras sambil berdoa, begitu juga adik-adiknya. Aku dan kakaku hanya bisa terpaku sambil tak henti menangis. Disana ia terbaring, berusaha mengatur nafas. Seperti udara mulai menjauhinya, ia menggapai langit-langit. Mungkin berusaha meraih udara. Atau mungkin mengusir 'sesuatu' yang tak lama lagi akan menjemputnya. Beberapa saat kemudian, ia menyerah. Udara menghampirinya, namun ia sudah tidak bisa menerimanya. Ia pergi. Meninggalkan aku dan keluarga. Meninggalkan dunia.

                Sudah dua bulan ia tiada. Tapi aku masih sering merindukannya. Seperti sekarang, aku bongkar lagi semua tentangnya. Aku raih fotonya yang terpajang di meja belajarku. Membiarkan jari jemariku mengitari wajahnya. Ia sedang tertawa, entah karena apa. Dulu, seingatku, ia selalu tertawa kalau aku memainkan keriput ditangannya. Dan kemudian membalasku dengan cubitan yang menggelikan.
               
                Aku ambil lagi foto lain yang aku simpan. Aku ambil satu fotonya yang sedang berdiri gagah. Bisa aku ingat jelas. Sosoknya yang bijaksana. Intonasinya yang berubah saat ia marah, dan berusaha tegas agar aku bisa segan padanya. Sosoknya yang seolah tau tentang banyak hal. Mengajarkanku banyak hal.

               Aku raih gambarnya yang lain, satu dimana ia sedang tersenyum. Aku bisa ingat jelas senyuman itu. Senyuman yang ramah. Aku ingat senyum tulus terakhirnya saat aku menawarkan minum, waktu itu ia sedang sakit. Terbaring lemas di tempat tidur. Aku bisa ingat senyumnya yang dipaksakan, senyum tegarnya saat mendapatkanku sedang melihatnya berdebat dengan pendamping hidupnya.

              Tiba-tiba aku benar-benar kembali kemasa lalu. Aku bisa mendengar jelas suaranya, tawanya. Aku bisa lihat ia sedang tertawa melihat aku dan sepupu-sepupuku bercanda. Aku bisa rasakan ketakutan yang persis aku rasakan saat ia menaikkan intonasinya dan memarahiku karena membuat salah satu sepupuku menangis. Dan... Aku bisa ingat deru nafas terakhirnya.

              Aku merasakan air mata mengalir dipipiku. Aku mulai menangis. Namun berusaha tak mengeluarkan suara. Sesak. Aku merasa sangat sesak. Aku merindukan lengannya. Aku merindukan pelukannya saat aku tertidur. Aku ingin merasa terlindungi lagi, sama seperti saat ia melindungiku, Aku ingin merasa aman lagi. Aku butuh seseorang yang bisa menghiburku saat suasana rumah membuatku ingin mati.

                Aku... Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya.

Friday, 03 June 2011

Maliq & D'essentials - Luluh

Oh haruskah aku pergi
Salahkah bila ku disini tak peduli keadaannya
Katakan berapa dalam kau ingin aku masuki kehidupanmu
Katakan berapa jauh kau ingin aku ada di hari-harimu
Bagaimana pantasnya
Bagaimana
Oh haruskah aku pergi
Salahkah bila ku disini tak peduli keadaannya
Oh setiap kau tersenyum
Membuatku melupakan dunia nyata
Tetap disini
Dapatkah semudah itu aku menanti apa yang kita jalani
Meski akhirnya semudah itu hatiku luluh kembali ke pelukanmu
Bagaimana pantasnya
Bagaimana
Oh haruskah aku pergi
Salahkah bila ku disini tak peduli keadaannya
Oh setiap kau tersenyum
Membuatku melupakan dunia nyata
Tetap disini
Apalah yang diharapkan
Bila tak ada tujuan
Mungkin hanya kesenangan
yang membuat kita terus bertahan
Oh haruskah aku pergi
Salahkah bila ku disini tak peduli keadaannya
Oh setiap kau tersenyum
Membuatku melupakan dunia nyata
Tetap disini
Oh haruskah aku pergi
Salahkah bila ku disini tak peduli keadaannya
Oh setiap kau tersenyum
Membuatku melupakan dunia nyata
Tetap disini
♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥ 


Someday.. I'll be there with someone I love. ♥