Aku kembali membuka memori dulu. Saat ia mengajariku banyak hal. Aku ingat lagi tawanya yang khas, aku ingat lagi suaranya, aku ingat lagi semua tentangnya.
Seperti baru kemarin semuanya terjadi. Ibuku menangis keras sambil berdoa, begitu juga adik-adiknya. Aku dan kakaku hanya bisa terpaku sambil tak henti menangis. Disana ia terbaring, berusaha mengatur nafas. Seperti udara mulai menjauhinya, ia menggapai langit-langit. Mungkin berusaha meraih udara. Atau mungkin mengusir 'sesuatu' yang tak lama lagi akan menjemputnya. Beberapa saat kemudian, ia menyerah. Udara menghampirinya, namun ia sudah tidak bisa menerimanya. Ia pergi. Meninggalkan aku dan keluarga. Meninggalkan dunia.
Sudah dua bulan ia tiada. Tapi aku masih sering merindukannya. Seperti sekarang, aku bongkar lagi semua tentangnya. Aku raih fotonya yang terpajang di meja belajarku. Membiarkan jari jemariku mengitari wajahnya. Ia sedang tertawa, entah karena apa. Dulu, seingatku, ia selalu tertawa kalau aku memainkan keriput ditangannya. Dan kemudian membalasku dengan cubitan yang menggelikan.
Aku ambil lagi foto lain yang aku simpan. Aku ambil satu fotonya yang sedang berdiri gagah. Bisa aku ingat jelas. Sosoknya yang bijaksana. Intonasinya yang berubah saat ia marah, dan berusaha tegas agar aku bisa segan padanya. Sosoknya yang seolah tau tentang banyak hal. Mengajarkanku banyak hal.
Aku raih gambarnya yang lain, satu dimana ia sedang tersenyum. Aku bisa ingat jelas senyuman itu. Senyuman yang ramah. Aku ingat senyum tulus terakhirnya saat aku menawarkan minum, waktu itu ia sedang sakit. Terbaring lemas di tempat tidur. Aku bisa ingat senyumnya yang dipaksakan, senyum tegarnya saat mendapatkanku sedang melihatnya berdebat dengan pendamping hidupnya.
Tiba-tiba aku benar-benar kembali kemasa lalu. Aku bisa mendengar jelas suaranya, tawanya. Aku bisa lihat ia sedang tertawa melihat aku dan sepupu-sepupuku bercanda. Aku bisa rasakan ketakutan yang persis aku rasakan saat ia menaikkan intonasinya dan memarahiku karena membuat salah satu sepupuku menangis. Dan... Aku bisa ingat deru nafas terakhirnya.
Aku merasakan air mata mengalir dipipiku. Aku mulai menangis. Namun berusaha tak mengeluarkan suara. Sesak. Aku merasa sangat sesak. Aku merindukan lengannya. Aku merindukan pelukannya saat aku tertidur. Aku ingin merasa terlindungi lagi, sama seperti saat ia melindungiku, Aku ingin merasa aman lagi. Aku butuh seseorang yang bisa menghiburku saat suasana rumah membuatku ingin mati.
Aku... Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya.
No comments:
Post a Comment